Di Sidang Uji Materi Penodaan Agama, Warga JAI Cerita soal Tindakan Diskriminatif

https://pusatjudionline99.blogspot.com/
Berita Indonesia Terpercaya - Berita Hot - Gunawan Wardi, salah seorang warga Ahmadiyah, memberikan kesaksian terkait tindakan diskriminatif terhadap komunitas warga Ahmadiyah yang tinggal di kawasan Parakan Salah, Sukabumi, Jawa Barat. Wardi mengungkapkan peristiwa kekerasan yang terjadi sekitar tahun 2008. Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah dirusak dan dibakar oleh anggota ormas yang tak sepaham dengan ajaran mereka.
Dengan suara sedikit bergetar, Wardi menceritakan kisahnya tersebut saat menjadi saksi dalam sidang uji materi atas UU No 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (23/10/2017).

"Pada 28 April 2008 pagi, kami dipanggil oleh Muspika. Beliau bilang kami harus menurunkan papan nama dan menutup masjid dan tidak menggunakannya lagi. Kalau tidak begitu maka masjid akan dirusak. Akhirnya kami melakukannya," ujar Wardi.

"Namun saat tengah malam, segerombolan orang datang dengan merangsek ke halaman masjid. Mereka melempari masjid dengan batu dan molotov hingga akhirnya masjid kami terbakar habis," kata dia.

Wardi mengaku heran dengan kejadian tersebut. Pasalnya, kehidupan warga Ahmadiyah berlangsung harmonis dengan warga selama hampir 30 tahun.

Masjid Al-Furqon yang dibangun pada tahun 1975 itu dibangun secara swadaya dan mendapat persetujuan dari Kepala Desa.

"Masjid tersebut diberi nama oleh Kepada Desa, masjid Al-Furqon dan memiliki nomor registrasi di Pemda. Kehidupan kami di dalam beragama di tengah masyarakat waktu itu berjalan harmonis hampir selama 30 tahun. Buktinya setiap kali memperingati hari besar Islam, Kepala Desa maupun tokoh masyarakat hadir bersama kami," tutur Wardi.

Situasi mulai berubah sejak awal tahun 2005. Saat itu, muncul demonstrasi besar-besaran dari ormas yang menentang ajaran Ahmadiyah.

Ancaman demi ancaman dialami oleh warga Ahmadiyah. Permintaan untuk menghentikan seluruh kegiatan di masjid senantiasa disampaikan, baik melalui surat resmi dari Muspika atau pun surat kaleng.

"Bahkan ketika kami adakan donor darah yang merupakan program sosial rutin, itu pun dihambat dengan mengintimidasi petugas PMI sehingga mereka tidak berani datang," ujar dia.

Tindakan diskriminatif mencapai puncaknya saat perusakan dan pembakaran masjid pada 28 April 2008.

Keesokan harinya, Wardi dan beberapa warga Ahmadiyah dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan. Namun hingga saat ini, tidak ada pelaku yang diproses secara hukum.

"Majelis hakim Yang Mulia, setelah pembakaran masjid tersebut kami hanya dapat shalat di rumah masing-masing," ujar Wardi.

Pada awal 2015, warga Ahmadiyah berupaya memperbaiki masjid agar bisa digunakan untuk shalat tarawih berjamaah dan shalat Idul Fitri bersama.

Ternyata, dua minggu setelah Idul Fitri, Satpol PP menyegel masjid tersebut dengan pengawal oleh polisi dan Muspika.

Wardi mengungkapkan, tindakan diskriminatif tidak hanya dialami warga Ahmadiyah dalam bentuk perusakan masjid saja.

Seringkali, kata Wardi, warga Ahmadiyah kesulitan untuk mengurus KTP. Akibatnya, banyak jemaah Ahmadiyah yang akan menikah harus mendaftarkan pernikahannya tersebut di daerah lain.

"Pasca-pembakaran, ada lagi kekejian lain yang kami alami. Mengurus KTP dipersulit, jemaah kami ada yang saat menikah harus di tempat lain," kata Wardi.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, selama sepuluh tahun terakhir, warga Ahmadiyah menghadapi berbagai masalah terkait dengan pelanggaran hak-hak beragama dan berkeyakinan.

Pelanggaran tersebut merusak dan menghilangkan hak-hak penganut JAI untuk secara leluasa dan aman menjalankan agama dan keyakinannya.

Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, sejak tahun 2005 pelanggaran hak kebebasan beragama kelompok minoritas yang dituduh sesat ini terus-menerus terjadi berupa intimidasi, penyegelan atau perusakan rumah ibadah, kantor organisasi, pengusiran komunitas tersebut dari tempat tinggal mereka, hingga penyerangan yang menyebabkan korban jiwa.

Saat ini ada lima provinsi yang telah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Gubernur atau Surat Edaran Gubernur yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah.

Selain itu ada pula 22 kabupatan/kota yang menerbitkan peraturan serupa. Seluruh regulasi tersebut merujuk kepada UU No 1 PNPS 1965





Sumber : Kompas

Berita Terkini, Berita Terpercaya, Berita Akurat, Berita Aktual, Liputan Terkini, Liputan Terupdate, Liputan Terpercaya, Berita News, Berita Politik, Berita Pagi, Berita Terkini, Berita Top, Berita Update, Berita Aktual, Berita Indonesia, Berita Olahraga, Berita Dalam Negeri, Berita Luar Negeri


Komentar

Postingan populer dari blog ini